Yellowstone adalah sebuah gunung api dan
bukan cuma gunung api biasa. Taman nasional tertua dan paling terkenal
di Amerika Serikat itu tepat berada di puncak salah satu gunung api
terbesar di Bumi. Bagaimanapun, Doane keliru dalam satu aspek penting.
Gunung api Yellowstone masih ada. Sampai taraf tertentu yang belum
pasti, gunung api itu masih sangat aktif.
Ada yang namanya gunung api, ada juga yang namanya gunung api super.
Yang terakhir ini belum punya definisi yang disepakati semua
orang istilah tersebut dipopulerkan lewat siaran dokumenter BBC pada
2000 tetapi, sejumlah ilmuwan menggunakannya untuk menjelaskan letusan
yang kehebatan dan volumenya luar biasa. Badan Survei Geologi AS
menerapkan istilah itu bagi letusan yang melontarkan lebih dari 1.000
kilometer kubik batu apung dan abu dari serangkaian letusan lebih dari
50 kali lipat letusan Krakatau yang sangat terkenal pada 1883, yang
menewaskan lebih dari 36.000 orang. Gunung api membentuk pegunungan;
gunung api super justru menghancurkan pegunungan. Gunung api mematikan
tumbuhan dan binatang yang berada dalam radius beberapa kilometer;
gunung api super menyebabkan seluruh spesies terancam punah dengan
mengubah iklim di seantero Bumi.
Belum pernah ada catatan dalam sejarah umat manusia tentang gunung api
super yang meletus, tetapi para ahli geologi sudah dapat memperkirakan
seperti apa letusannya. Pertama-tama, lapisan batu panas menyeruak naik
dari perut planet, melelehkan batu yang berada tepat di bawah kerak
Bumi, menciptakan tandon raksasa yang dipenuhi campuran bertekanan dari
magma, batu setengah padat, uap air terlarut, karbon dioksida, dan
berbagai gas lainnya. Seiring dengan pertambahan magma yang
terakumulasi di dalam tandon dalam kurun ribuan tahun, tanah di atas
tandon mulai naik membentuk kubah setinggi beberapa sentimeter.
Berbagai rekahan pun membuka di sepanjang tepian kubah, seakan-akan
perampok menggergaji lubang dari bawah lantai kayu. Ketika tekanan
dalam tandon magma lepas melalui rekahan-rekahan itu, gas-gas terlarut
langsung meledak dalam reaksi pelepasan raksasa. Seperti “membuka botol
Coca Cola setelah kita mengocoknya,” kata Bob Christiansen, ilmuwan
Badan Survei Geologi A.S. yang merintis penelitian di gunung api
Yellowstone pada 1960-an. Karena tandon magma kosong, permukaan tanah
pun runtuh. Seluruh kawasan kubah runtuh memasuki planet, seakan-akan
Bumi melahap dirinya sendiri. Yang tersisa adalah kaldera raksasa, dari
kata bahasa Spanyol untuk “cauldron” atau ketel.
Daerah “titik panas” yang membentuk kaldera Yellowstone sudah
meletus lusinan kali di masa lalu dan sudah berlangsung selama
kira-kira 18 juta tahun. Karena titik panas tersebut berakar jauh di
perut Bumi dan lempeng tektonik di atasnya bergerak ke arah barat daya,
kaldera-kaldera yang gentayangan dan berasal dari letusan yang lebih
kuno berselang-seling seperti serangkaian manik-manik raksasa di bagian
selatan Idaho hingga memasuki wilayah Oregon dan Nevada. Aliran lava
yang selanjutnya terjadi membentuk bentang alam mirip di bulan, yakni
Dataran Sungai Ular yang tampilannya mengerikan.
Bagaimanapun, dampak letusan-letusan zaman dulu itu masih sangat
terasa dewasa ini. Pohon Pinus contorta yang mendominasi hutan taman
nasional tumbuh dengan beradaptasi pada lahan yang miskin zat hara
seperti di kaldera Yellowstone. Demikian pula pinus berkulit putih
(Pinus albicaulis), yang buahnya menjadi santapan beruang grizzli
(Ursus (arctos) horribilis) dan beruang hitam (Ursus (Euarctos)
americanus).Dan tentu saja, sampai sekarang pun lahan itu boleh dikatakan sangat panas. Ikan trout yang menguasai sungai tidak akan berlimpah ruah jika tidak ada dampak pemanasan mata air hidrotermal di dasar Danau Yellowstone yang beku. Taman ini menjadi keruh oleh geiser, fumarol, gunung api lumpur, dan kegiatan hidrotermal lainnya. Separuh geiser di Bumi berada di Yellowstone. Semua fitur hidrotermal tadi terus berubah suhunya dan perilakunya, sementara fitur baru bermunculan di hutan, memuntahkan awan uap yang dapat terlihat dari pesawat udara, memancarkan uap yang diketahui mampu menewaskan bison dalam seketika.
Meski terjadi “semburan gas yang sangat ganas” ini, begitu kata seorang
penjelajah masa awal, gunung api di bawah Yellowstone sudah lama
diperkirakan punah, sebagaimana yang diyakini Doane, atau setidaknya
sedang sekarat. Dan memang begitulah, setelah dilakukan survei oleh
pemerintah federal pada akhir abad ke-19, kegiatan dan kapasitas gunung
api Yellowstone tidak terlalu diperhatikan secara ilmiah selama
puluhan tahun. Kemudian, pada akhir 1950-an, seorang mahasiswa
pascasarjana Harvard yang masih muda Francis “Joe” Boyd terpesona oleh
kehadiran batuan tufa—lapisan tebal abu padat nan panas yang
disadarinya merupakan tanda aliran piroklastik dari letusan hebat, yang
menurut ukuran waktu geologis, terjadi belum begitu lama.
Pada 1965 Bob Christiansen menemukan tufa kedua yang amat jelas; tahun berikutnya dia dan beberapa rekannya mengenali yang ketiga. Dengan menggunakan penentuan-umur dengan potasium-argon, mereka menentukan bahwa ketiga tufa itu adalah hasil tiga kali letusan. Setiap letusan membentuk kaldera raksasa, dan letusan yang terakhir boleh dikatakan menutupi semua bukti terjadinya kedua letusan sebelumnya.
Kemudian, di suatu hari pada 1973, Bob Smith dan seorang rekannya sedang melakukan penelitian di Pulau Peale, di Sayap Selatan Danau Yellowstone, ketika Smith menyadari ada sesuatu yang ganjil: Beberapa pohon di sepanjang garis pantai tampak terbenam sebagian dan hampir mati. Dia pernah melakukan penelitian di daerah itu pada 1956 dan berencana hendak menggunakan dermaga kapal yang sama seperti perjalanannya terdahulu. Tetapi, dermaga itu juga terendam. Ada apa ini?
Karena tergoda, Smith mulai melakukan survei ulang terhadap patok yang ditempatkan pegawai taman di berbagai jalan di seluruh taman nasional sejak 1923. Hasil surveinya menunjukkan bahwa Lembah Hayden yang berada di puncak kaldera sebelah utara danau, naik sekitar 75 cm dalam kurun waktu sekian puluh tahun. Namun, ujung bawah danau sama sekali tidak naik. Akibatnya, ujung utara danau naik dan menyebabkan air mengalir ke bawah ke ujung selatan. Tanahnya membentuk kubah. Gunung api itu ternyata masih aktif.
Pada 1965 Bob Christiansen menemukan tufa kedua yang amat jelas; tahun berikutnya dia dan beberapa rekannya mengenali yang ketiga. Dengan menggunakan penentuan-umur dengan potasium-argon, mereka menentukan bahwa ketiga tufa itu adalah hasil tiga kali letusan. Setiap letusan membentuk kaldera raksasa, dan letusan yang terakhir boleh dikatakan menutupi semua bukti terjadinya kedua letusan sebelumnya.
Kemudian, di suatu hari pada 1973, Bob Smith dan seorang rekannya sedang melakukan penelitian di Pulau Peale, di Sayap Selatan Danau Yellowstone, ketika Smith menyadari ada sesuatu yang ganjil: Beberapa pohon di sepanjang garis pantai tampak terbenam sebagian dan hampir mati. Dia pernah melakukan penelitian di daerah itu pada 1956 dan berencana hendak menggunakan dermaga kapal yang sama seperti perjalanannya terdahulu. Tetapi, dermaga itu juga terendam. Ada apa ini?
Karena tergoda, Smith mulai melakukan survei ulang terhadap patok yang ditempatkan pegawai taman di berbagai jalan di seluruh taman nasional sejak 1923. Hasil surveinya menunjukkan bahwa Lembah Hayden yang berada di puncak kaldera sebelah utara danau, naik sekitar 75 cm dalam kurun waktu sekian puluh tahun. Namun, ujung bawah danau sama sekali tidak naik. Akibatnya, ujung utara danau naik dan menyebabkan air mengalir ke bawah ke ujung selatan. Tanahnya membentuk kubah. Gunung api itu ternyata masih aktif.
0 komentar:
Post a Comment
Jangan Malu Berkomentar